Scarf: Lebih Dari Secarik Kain
Posted on September 05 2021
Siapa yang menyangka di awal pembuatannya, scarf difungsikan untuk iklim tropis. Yup, jika sekarang scarf lebih dikenal sebagai autumn-winter fashion item, ternyata dalam sejarahnya scarf disebut sebagai sudarium yang berarti “kain penyeka keringat” di tahun 10 AD, tepatnya di negara Roma.
Ditarik lagi ke belakang, sejarah mencatat Ratu Nefertiti dari Mesir terlihat mengenakan scarf sebagai penutup kepala di tahun 350 BC. Kelekatan scarf dengan iklim tropis juga terlihat di tahun 230 BC saat Emperor Cheng dari China mengenakan scarf untuk penanda jabatan militernya. Hingga era ini, scarf yang kita kenal identik dengan material sutra dibuat dengan bahan katun yang lebih breathable dan menyerap cairan.
Hingga akhirnya di ke-17 scarf mulai digunakan untuk simbol status dan kelas di benua Eropa, dimulai dari Emperor China yang mengenalkan sutra sebagai simbol kemewahan dan mulai dibawa ke Eropa melalui Jalur Sutra. Kala itu, imported silk from China adalah puncak kemewahan karena selain kualitas dan harga yang tinggi, untuk mendapatkan sutra literally melalui pertumpahan darah dan sistem politik yang rumit.
Saat ini, material yang digunakan populer digunakan untuk scarf adalah sutra. Hal ini karena sutra di abad 17 (hingga sekarang) merupakan komoditas berharga dengan nilai prestise yang tinggi. Tidak heran jika kemudian di Kroasia, militer menggunakan scarf sebagai indikator ranking militer berdasarkan material pembuatnya: sutra untuk jenderal dan katun untuk prajurit di bawahnya.
Ditambah dengan pergeseran popularitas scarf ke negara Eropa, material sutra semakin diminati karena memiliki kerapatan benang yang tinggi sehingga membuatnya cocok untuk menangkal udara Eropa yang dingin sekaligus menjadi pernyataan kemewahan.
Kita bisa melihatnya melalui foto-foto iconic Queen Victoria dan Beethoven yang mengenakan scarf sutra dalam keseharian mereka. Pada dasarnya, scarf berbagi sejarah dengan sapu tangan yang mengalami pengembangan untuk menjadi lebih mengakomodir kebutuhan perempuan untuk menutup kepala di musim dingin yang tidak bisa dilakukan oleh sapu tangan.
Wah, siapa sangka ada perjalanan sejarah yang panjang di balik secarik kain pemanis tampilan ini ya, babes.
Menjadi Tanda Cinta
Babes, ingat lagu klasik dari Ismail Marzuki berjudul Selendang Sutra? Dua larik awal lagu ini mengingatkan kita tentang betapa romantisnya sepasang kekasih yang berpisah namun mengenang cinta satu sama lain melalui pertukaran selendang sutra. Namun jika didengarkan lebih jauh, terdapat kalimat “Ketika lenganku terluka parah, selendang sutramu turut berjasa,” hal ini tentu tidak terlepas dari popularitas scarf bermaterial sutra yang bersinggungan dengan perang dunia 1 dan 2. Scarf menjadi fashion item yang mengambil tempat tersendiri di tengah perang yang dingin dan suram.
Romantisme di balik scarf tidak terlepas dari era perang dan budaya aristokrat abad ke-18 dan 19. Saat rumah fashion ternama Eropa mulai merilis scarf di edisi musim gugur dan musim dingin mereka, selebriti mulai mempopulerkan penggunaan scarf sebagai fashion statement yang melambangkan keanggunan, kemewahan dan kecantikan.
Tidak perlu menggali terlalu jauh, kita bisa melihat Audrey Hepburn, Grace Kelly, Julie Christie dan sederet orang ternama lainnya mengenakan scarf yang terbuat dari sutra sebagai bagian dari gaya berpakaian mereka. Hingga akhirnya di tahun 1937 Hermès merilis scarf yang terbuat dari sutra impor China sebagai koleksi mereka, membuat scarf menjadi lebih populer dan menyebar di seluruh Eropa. Tidak heran jika kemudian scarf menjadi koleksi wajib bagi bangsawan wanita mengiringi koleksi sapu tangan sutra bagi para gentleman.
Di Indonesia yang terpapar budaya Eropa melalui penjajahan Belanda, budaya sapu tangan dan selendang sutra ini diserap secara sporadis mulai dari kaum elit terpelajar hingga prajurit kemerdekaan. Hal ini dikarenakan hirarki aristokratik Indonesia tidak mengenal scarf dengan cara yang sama seperti di Eropa (sebagai simbol status dan kelas) sehingga di era tersebut, scarf lebih identik melalui ciri khasnya yang lain: simbol keanggunan dan kecantikan perempuan.
Inilah sebabnya, melalui lagu Selendang Sutra, kita bisa mendengar seorang kekasih yang menitipkan scarf untuk kekasihnya yang pergi berperang. Baik di Eropa maupun di Indonesia, selendang bermaterial sutra dengan sekelumit kisah cinta dijadikan pembalut luka dan penyemangat bagi sepasang kekasih yang sedang terpisah oleh perang.
Siapa sangka, secarik kain sederhana yang kini bisa kita beli dengan mudah ini memiliki banyak cerita di baliknya. Mengenakan scarf dengan mengetahui sekelumit cerita di baliknya seperti ini bisa menambah penghargaan dalam memilikinya.
Kita bisa merasakan keterikatan cerita sebagaimana prajurit perang berpisah dengan kekasih hati dan dikuatkan melalui secarik kain penuh cinta. Atau bagaimana kelembutan seorang perempuan dijabarkan melalui ilustrasi kain sutera melambai ringan melilit lehernya. Sekaligus merasakan kekuatan material sutera yang bisa awet sepanjang zaman.
Energi ini yang menggerakkan Tioria dalam setiap produksinya. Untuk menghargai sekaligus merayakan sejarah yang membentang di setiap fashion item yang dikeluarkannya. Termasuk scarf yang bisa kamu cek melalui Instagram Tioria. Psst, koleksi produk Tioria nggak cuma bertema Jakarta lho, melainkan juga Indonesia!
Kamu sendiri, mengenakan scarf untuk alasan apa?